Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, demokrasi pada masa Orde Baru tidak mencapai substanstinya. Ini terbukti dengan mutu pemilu yang dianggap tidak fair dan jauh dari kualitas demokrasi yang sebenarnya. Golkar di bawah kepemimpinan Harmoko, mantan Menteri Penerangan (1987-1996) memenangkan lebih dari 70% suara pada pemilu 1997 .
Hal ini mengundang aksi - aksi protes terbuka yang mengiringi tahapan-tahapan pemilu. Mulai dari pantarlih sampai dengan pemungutan dan penghitungan suara di berbagai daerah. Munculnya kehendak untuk perubahan dalam perpolitikan sudah terasa kian membesar, bahkan sebelum krisis ekonomi terjadi. Aksi aksi protes pada pemilu 1997 juga merupakan pertanda semakin meningkatnya keberanian masyarakat untuk melakukan perlawanan terhadap manipulasi politik yang sebelumnya tidak atau jarang terjadi. Kerusuhan sosial yang semakin marak karena kekerasan politik baik sebelum maupun pasca Pemilu 1997. Misalnya, peristiwa penyerangan kantor DPP-PDI di Menteng, Jakarta pada bulan Juli 1996, konflik anatar etnik (1996) Madura dan Dayak di Sanggau Ledo dan antar Madura dan Melayu di Sambas (1998) (Kalimantan Barat), huru-hara di Rengasdengklok (Karawang) dan beberapa kerusuhan dalam skala kecil, terjadi di desa-desa . Dibalik kerusuhan sosial itu adalah resistensi masyarakat mengadapi poltik kontrol dan pengendalian pemerintah, karena semakin kuatnya keterkaitan antara kecenderungan politik nasional dengan politik lokal (Syamsuddin, 1998) yang keras menjelang dan sesudah pemilu. Kekecewaan itu terfokus atas penataan politik yang hegemonik, pengelolaan ekonomi yang berlumur KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) sehingga mendorong praktek dan pertumbuhan ekonomi makin tidak sehat,serta penegakan hukum yang lemah.
Kemenangan Golkar pada pemilu 1997 tersebut, memposisikan Golkar di puncak kejayaannya. Tetapi, walaupun pemerintah Orde Baru memperkokoh kekuasaannya, loyalitas ABRI, dan Golkar yang tak tergoyahkan, demokrasi yang selama Orde Baru kehilangan substansinya meledak untuk menuntut reformasi di segala bidang. Menurut para reformis, reformasi politik harus dimulai dengan mengubah lima undang-undang politik yaitu UU Pemilu, UU Kepartaian, UU Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD, UU Anti Monopoli, dan UU Anti Korupsi. Dr. Anwar Haryono, Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia melihat bahwa tuntutan akan reformasi sudah tidak dapat dibendung lagi. Ia menemui Soeharto dan menyarankan agar Soeharto memimpin reformasi, kalau tidak Soeharto boleh menyerahkan reformasi ke DPR.
Soeharto dengan cerdik menanggapi usulan Anwar Haryono. Ia mencoba memulai reformasi sesuai dengan apa yang dipikirkannya sendiri. Tanggal 30 April Presiden Soeharto mengundang para pimpinan DPR, orsospol dan ABRI ke kantor resminya, Binagraha. Pertemuan yang disebut silaturahmi itu berlangsung selama 90 menit, membahas situasi politik terakhir, dan kemungkinan merombak lima undang-undang politik dan reformasi. Hasil dari pertemuan itu adalah, menurut Soeharto reformasi GBHN itu harus dengan GBHN yang baru. Kata-kata Soeharto inilah yang kemudian ditafsirkan sebagai “reformasi tidak ada sampai tahun 2003”.
Mahasiswa dan para aktivis reformasi sangat kecewa atas pendirian Soeharto itu. Aksi-aksi semakin marak menuntut agar reformasi dilaksanakan saat ini juga, bukan tahun 2003.
Di tengah situasi yang genting, Soeharto berangkat ke Kairo pada tanggal 9 Mei untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi kelompok G15 ke-8, sebuah forum kerjasama antar negara-negara berkembang. Ketika di Kairo, Soeharto menyatakan kesediaannya untuk lengser keprabon. “Silahkan diganti, asal dengan cara yang konstitusional. Saya tidak akan mempertahankan dengan kekuatan senjata,” Soeharto.
Masyarakat tidak percaya lagi terhadap kata-kata Soeharto karena dalam waktu dua minggu saja, ralat pers dan tuduhan salah kutip terhadap pers seperti itu terulang dua kali. Ralat Alwi Dahlan disampaikan dengan hati-hati, mengingat pengalaman dua minggu sebelumnya, ralat akan menimbulkan reaksi keras. Perkiraan itu benar. Kali ini tuntutan masyarakat lebih keras. Mereka menuntut diadakan Sidang Istimewa MPR, meminta pertanggungjawaban Soeharto, dan mengembalikan mandatnya kepada MPR. Soeharto yang terlanjur menyangkal pernyataan mundurnya, menjanjikan tiga langkah. Langkah pertama, Soeharto dengan kewenangan yang ada digunakan untuk menyelamatkan bangsa dan negara, melindungi hak hidup warga negara, mengamankan harta dan hak milik rakyat, mengamankan pembangunan dan aset nasional, memelihara persatuan dan kesatuan bangsa, serta mengamankan Pancasila dan UUD 1945. Kedua, reformasi akan terus dijalankan di segala bidang. Dan ketiga, Soeharto akan meresufle Kabinet Pembangunan VII.
Antara tanggal 18 hingga 20 Mei terjadi beberapa perkembangan sangat menentukan terhadap kedudukan Soeharto.
Orang-orang yang dekat dengan Soeharto berbalik arah untuk mendukung tuntutan-tuntutan demonstran. Pada tanggal 18 Mei, gedung MPR/DPR mulai dipadati demonstran. Pimpinan MPR/DPR mengadakan rapat untuk merespon tuntutan mereka. Rapat itu menghasilkan kesepakatan yang dituangkan dalam sebuah penyataan pers Harmoko yang mengejutkan semua pihak. Mengejutkan, karena keluar dari DPR yang didominasi Golkar, kelompok yang dekat dengan Soeharto. Dalam pernyataan tersebut pimpinan dewan mengharapkan agar presiden sebaiknya mengundurkan diri.
Pada tanggal 20 Mei, 14 menteri di bawah koordinasi Menko Ekuin Ginanjar Kartasasmita mengadakan rapat di kantor Bappenas.Rapat ini menghasilkan bahwa mereka tidak bersedia duduk di Kabinet Reformasi. Mereka menyampaikan hasil rapat ini dalam bentuk surat kepada Soeharto.
Di hari yang sama, Soeharto juga menerima surat dari pimpinan DPR. Isinya menyatakan agar Presiden Soeharto selambat-lambatnya mengundurkan diri pada hari Jum’at 22 Mei. Kalau sampai hari Jum’at itu Soeharto tidak juga mundur, maka pimpinan DPR/MPR akan menyiapkan Sidang Istimewa tanggal 25 Mei. Setelah membaca surat itu, Soeharto memberitahu Sadilah Mursyid tentang ketetapan hatinya untuk berhenti keesokan harinya. Kabar ini pun bocor sampai ke para demonstran yang menduduki gedung MPR/DPR. Kamis pagi, 21 Mei 1998, Soeharto membacakan surat pengunduran dirinya dan BJ. Habibie secara otomatis menjadi presiden .
1. Catat ulang pada buku catatan masing-masing ,Peran pelajar, mahasiswa, dan pemuda dalam perubahan politik dan ketatanegaraan Indonesia
2. Ceritan dengan singkat Peran pelajar, mahasiswa, dan pemuda dalam perubahan politik dan ketatanegaraan Indonesia
3. Apa peranan pelajar dalam perubahan politik dan ketatanegaraan indonesia
Comments